Februari 04, 2010

CiNTA HAHAHAHAAHAHAHAHA CRACK YOU

Salam sejahtera.

(1)
Kekasih, surat ini sengaja kutulis untukmu. Hanya karena aku tak begitu yakin mampu bertanya kenapa setiap musim juga hujan yang tiba-tiba kita terima acapkali tak meninggalkan namanya di tepi mimpi dan tempat tidur kita. Seperti kita yang tiba-tiba jatuh cinta pada seseorang, lalu pada doa, juga seringkas kenangan dan batas-batas.

Usia kita, kekasihku, tak perlu renta dalam cinta.
Lalu siapa yang berani berjalan lebih cepat dari cinta?
Tapi aku sejenak hanya ingin sendiri dengan mata yang terpejam dan berharap dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk mengenang seseorang. Mungkin aku akan mencatat kenangan itu dalam baris-baris puisi, catatan harian, sebuah cerita kecil atau bahkan mencoba melukis garis-garis wajahnya dipermukaan kertas atau kanvas. Dan kini, aku ingin menulis surat untukmu, sekedar mengenangmu dalam sebuah kerinduan yang paling hening, sekedar menyampaikan sesuatu dengan sederhana dan terus terang. Lalu kelak malam mengendap senyap, dan aku akan menemukan ruang yang cukup mesra untuk menafsirmu lewat puisi, juga doa.

Mei tahun lalu, bukan, barangkali Juni atau Januari tahun ini. Entahlah. Tapi aku ingat, hujan dan puisi tentangmu menyekapku dalam labirin kerinduan yang panjang. Ada kenangan kembali terdengar seperti suara gerimis di daun-daun, tanah dan atap rumah—serupa bunyi detik jam atau suara hela menarik napas. Sekejap puisi pun menjadi lengkap ketika disebuah tikungan jalan aku bertemu denganmu—sebuah tikungan yang sampai kini tak pernah bisa aku luruskan dengan beberapa kata dan semesta air mata. Cinta datang tanpa memberi kita waktu yang panjang untuk membicarakannya…

Aku tak pernah setuju bahwa aku pernah jatuh cinta dengan tergesa-gesa pada seseorang seperti anak kecil yang tiba-tiba jatuh cinta pada sebuah mainan di etalase toko tepi jalan. Setiap orang memang cenderung demikian tergesa-gesa menerima cinta sebagai sesuatu yang gampang dan sepenuhnya indah, tanpa luka. Padahal Gibran pernah bilang bahwa cinta adalah “mahkota sekaligus penyaliban.” Tapi kerapkali kita menolak satu sisi perih dari keping cinta bermata dua.


(2)
Tiba-tiba jam berputar serupa labirin…
Ada kawan sedang patah hati. Setiap malam menjeritkan nyerinya. Ia lantas di pagi harinya—sudah menjadi sebuah “penyakit” tetapi lumayan kreatif—akan membacakan puisi di toilet keras-keras. Hingga antrian orang yang mau mandi terus menggerutu. Ketika melihat kondisi kawanku yang kadang dapat meresahkan masyarakat, gila dan anarkis, aku akan perlahan mendekatinya. Tetapi ia bicara padaku bahwa ia heran dengan perempuan, ia tengah mengutuk tubuhnya sendiri sekaligus mengutuk nasib. Akupun menyusuri warna nasibnya. Ingin membuatnya kembali ceria. Setidaknya malam ini, menjelang ia tidur. Bahwa kemudian pagi hari ia kumat lagi, itu soal lain. Kejadian seperti itu membuatku memikirkan seseuatu yang memang cukup meresahkan.

Tetapi jika prasangka kawanku benar, bahwa seolah-olah asmara berkiblat pada tubuh, maka akan ada beribu orang yang kehilangan hak dicintai dan mencintai. Kawanku selalu mengeluh tentang wajah dalam perjalanan cintanya. “Wajahku jelek, dan perempuan itu cantik,” keluhnya. Ia tak percaya diri. Ia merasa kehilangan sesuatu. Atau bahkan ada pendam berontak seolah-olah ia ingin berteriak, seperi laiknya Gibran: aku dilahirkan dari keindahan cinta dan kasih sayang, maka aku berhak mencintai dan dicintai! “Tapi kenapa?” tanyanya pelan. Sambil berbaring, akupun ikut bertanya: “Apakah ini takdir mpunya firman? Atau jejaring nilai buah konstruksi sosial dan media yang begitu gaduh merekonstruksi mitos tubuh dan wajah pria dan wanita dalam iklan dan disetiap citra yang dibisikkan dalam gosip-gosip para perawan desa maupun gadis-gadis kota yang gandrung majalah remaja?”

Persoalan tersebut akhirnya aku angkat dalam sebuah diskusi menjelang tengah malam yang digelar di sebuah organisasi. Aku memang pernah dengan semangat dan yakin (mungkin juga dendam, defresi atau bahkan gila) berkata: “Wajah, dalam hal ini—disamping uang dan harta, pada dasarnya adalah alasan utama yang kerap menguasai logika perempuan (bahkan laki-laki), kenapa ia membuat yang lainnya berhenti dan terbuang dipintu gerbang asmara. Alasan itu berupa kata-kata yang tak keluar dari mulutnya. Ia mengendap di alam bawah sadar. Perempuan boleh membela diri bahwa krieria wajah atau fisik menempati urutan terbawah dari daftar kriteria tentang imajinasi pasangannnya. Bahkan ada yang membuangnya dari daftar kriteria.

Misal, mereka mengagungkan dan mengutamakan kriteria “lelaki baik hati” sebagai pilihan yang terpenting. Tetapi ketika datang seseorang yang mampu memenuhi kriteria tersebut, ia tetap menolak cintanya dengan alasan yang berbelit-belit: ingin sendiri, mau konsen kuliah, sudah punya pacar (padahal jomblo), belum waktunya, dilarang pacaran sama mama dan sebagainya dan sebagainya… Mereka kesulitan untuk jujur bahwa mereka memiliki obsesi yang tinggi akan wajah yang tampan, tubuh yang bagus dan lainnya…” ucapku panjang lebar. Bahkan dengan jengkel, aku mengatakan bahwa hakikat cinta telah nyaris lenyap dari kesadaran masyarakat. Bahkan di dunia remaja, cinta mengalami reduksi. Ia menjadi sekedar birahi, phsycly dan fun. Atau “cinta” bahkan dipahami sekedar dunia remaja, hubungan asmara antara dua sejoli. Mereka lupa bahwa cinta itu universal. Cinta pada Tuhan, orang tua, sahabat atau bahkan cinta pada orang yang memusuhi kita bla…bla…bla…

Diskusi, seperti biasa, akan melebar; dari mulai sharring, tukar pengalaman, debat, legitimasi ayat dan kutipan, persoalan teologi sampai membayangkan apa bunuh diri paling cantik bagi kami.

Disaat-saat patah hati, misalnya, seseorang memang harus menulis atau bicara banyak hal pada seseorang. Lalu kukatakan pada kawanku: “Setiap orang telah mengalami hal yang sama, Cuma soal waktu dan sikap apa yang seharusnya dilakukan. Kegagalan cinta itu hal yang wajar. Teruslah berjalan, kalau takut, duduklah! Tetapi itu berarti kau kehilangan kesempatan untuk mengerti cinta. Ekspresikan saja luka-luka, tentu saja lewat hal-hal yang positif. Berpuisilah, atau melukislah, atau bernyanyilah, atau menulislah…

Memang, cinta dapat membuat orang merdeka lewat karya-karyanya. Seperti semangat yang berkelindan dalam lukisan Monalisa-nya Leonardo Da Vinci, para filosof, sufi-sufi dan puisi atau karya sastra para sastrawan—karena cinta. Bahkan moralitas, keadilan dan kebenaran lahir dari agungnya cinta. Kita boleh luka oleh cinta, tetapi jangan pernah kalah olehnya (maksudnya, diperbudak). Bahwa kemudian kau tak merasa merdeka karena seseorang tak kunjung mau percaya padamu, itu soal lain. Jangan lari dari luka, tetapi dekaplah perihnya. “Kenikmatan hidup, kawan, dapat hadir dari himpitan rasa sakit…” kataku padanya yang terus murung. “Waspadalah, bukankah cinta juga bisa bikin orang gila—bahkan bunuh diri?”

Setiap orang cenderung selalu ingin merasa utuh dihadapan sang Kekasih. Padahal ia demikian kecil, keinginan yang menggebu untuk menjadi kekasih yang utuh—sebuah obsesi pecinta khas manusia! Seutuh apapun ia, setiap orang memang tak pernah kunjung lengkap. Selalu, setiap orang ingin dilengkapi oleh yang lain, termasuk sang pecinta.

Mungkin juga cinta hamba terhadap Tuhannya. Selalu, keinginan akan kehadiran sang Kekasih kian kekal. Begitupun cinta sesama manusia. Mencintaimu membuatku mau belajar pada setiap orang di tepi jalan, diruas-ruas buku dan kaki langit yang paling sepi—aku mau belajar pada semesta, pada hidup. Tapi bukankah kita juga dapat “mati” oleh cinta jika kita tak menerima cinta sebagai sebuah pelajaran untuk mencintai yang lainnya dalam keadaan paling buruk sekalipun. Perceraian dalam rumah tangga, misalnya, seringkali mengabaikan hal itu, kan? Tapi Nabi Muhammad ketika diludahi, malah mendoakan orang yang meludahinya. Mulia kan? Mungkin itu bagian sikap dari cinta yang agung…


(3)
Tiba-tiba jam berhenti setajam belati…
Kekasih, terus terang, malam ini aku sebenarnya tak mengerti kenapa setiap ingatan tentang masa lalu selalu berharga untuk diungkapkan kembali, bahkan acapkali berharga untuk tetap dipertahankan. Mungkin ini semacam kerinduan. Aku memang selalu bahagia ketika memahami cinta dan kerinduan padamu sebagai sebuah gagasan dan semangat. Hingga aku cukup bahagia mempertahankannya. Karena aku merasa, setiapkali menerima kehadiran seseorang yang dicintai adalah menerima hidup yang maha tenang, nyaman dan giat berkarya serta merenung. Tetapi bisa juga berarti bermain dalam kecemasan. Bukankah kecemasan juga dapat melahirkan keindahan dan sebuah gairah berkarya?

Akupun memang harus belajar untuk hidup tegap dalam setiap keputusanku, meski setiap keputusan itu benar-benar tak nyaman—termasuk ketika aku membuat keputusan untuk tetap bertahan mencintaimu. Aku pernah menulis catatan kecil di halaman pertama buku kawanku: “…sudah saatnya kita mempercayai ada banyak hal yang dapat membuat kita merdeka dalam hidup ini, meski dicari dengan cara yang paling tak nyaman sekalipun.” Aku hanya ingin membuktikan diriku dalam doa-doa yang dapat mengubah setiap kesepian menjdi kenangan; mengubah cinta menjadi karya. Aku ingin belajar mengisi seluruh ruang dengan segenapmu.

Aku percaya, ada sesuatu yang tetap kita pertahankan dalam hidup sesingkat ini. Tapi ia sesuatu yang tak bisa disebut. Hanya jika cinta utuh dimengerti, dengan bathin yang bersih, dengan doa…

Kekasih, aku memang merasa harus menulis tentang apapun. Setidaknya aku berharap dapat belajar mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi yang lain. Malam ini, keheningan berjalan demikian perlahan. Kudengar di luar suara gitar dipetik dan seseorang telah bernyanyi. Meski kadang antara nada gitar dan nyanyian tak selaras. Ingin sekali aku menemani kawanku bernyanyi, tetapi lewat tengah malam adalah jadwalku untuk menulis. Toh bernyanyi ketika malam menjelang shubuh lumayan mengkhawatirkan, mengganggu orang tidur yang tengah bermimpi indah. Aku pernah punya pengalaman ketika nyanyianku harus dibalas dengan lemparan sepatu atau baju kotor. Malam memang lebih cantik ketika seseorang memilih diam, tanpa suara, sekedar tafakur dan menulis. Atau sekedar mengukur beberapa kenangan.

Malam inipun, aku merasa setiap kenangan tentangmu begitu cepat merangkum huruf-huruf, menjadi puisi, catatan kecil dan sebuah inspirasi untuk sebuah cerita sederhana. (walau kadang, lewat tengah malam, inspirasi boleh saja menumpuk, tetapi perut amat keroncongan.) Mungkin ada banyak orang yang selalu tak punya alasan yang cukup untuk membuang setiap kenangan yang cantik, termasuk ketika kerapkali kita demikian gugup mencari alasan yang logis kenapa kita mencintai seseorang. Orang mungkin juga tahu, selalu tak hadir alasan yang layak dan dapat dipahami kenapa mereka mencintai seseorang.

Aku sadar, orang bisa menceritakan, memikirkan dan menjelaskan segalanya tentang cinta—hanya sedikit. Selebihnya adalah entah. Karena, konon, cinta hadir diluar materi dan tidak bisa diukur dengan materi, bahkan ia sesuatu yang tidak bisa disebut. Ia hadir lebih lengkap di luar batas bahasa. Bukankah seringkali perasaan cinta terhadap apapun pada akhirnya tak punya bentuk yang utuh dalam bahasa, tak bernama? Atau memang ada banyak orang yang percaya bahwa pernyataan tentang cinta memang tak terlalu penting dihadirkan dalam kata-kata. Tak heran jika banyak orang yang mengungkapkan dan menjawab cinta dengan metafora, sikap dan isyarat-isyarat. Mereka ingin cinta tak diungkapkan secara verbal. Tapi bukan berarti mengungkapkan cinta dalam kata-kata adalah salah, tolol dan tak percaya diri.

Aku percaya bahwa kata-kata dan gambaran tentang cinta yang dapat hadir menjadi karya. Bahkan mengucapkan “aku cinta padamu” akan menjadi baris kalimat karya yang begitu tegas dalam gema kenangan, tak sekedar isyarat. Sebab isyarat sarat ambiguitas bahasa. Bukankah dengan mengamalkan cinta serta mengucapkannya sebuah persembahan akan menjadi kian lengkap?

Aku memang seringkali menemukanmu demikian utuh dalam diam daripada menemukanmu dalam sebuah obrolan panjang lebar tentangmu dengan seorang kawan. Atau aku telah menemukanmu begitu utuh pula dalam pikiran ketika aku duduk sendirian. Seperti sore tadi, kurasakan angin teduh, sesekali menggugurkan satu-dua daun dan membuatnya berserak dipermukaan tanah yang lembab. Dedaun itu sempat mengingatkan aku pada kenangan-kenangan yang berserak dalam puisi-puisi yang tak selesai atau lagu-lagu yang ingin aku nyanyikan untukmu, tapi tak pernah satupun yang kunjung selesai.

Aku memang cukup lama ringkih dan gugup mencatatmu dalam ingatanku. Tetapi selalu ada alasan yang cukup bagiku merasa bahagia menulis puisi dan catatan kecil tentangmu. Bahkan aku seringkali membayangkan kau membacakannya untukku disebuah tempat yang cukup teduh, sunyi dan sederhana. Aku selalu gembira membayangkan hal itu. Tapi jarak merentang demikian nganga dan kian panjang diantara kita. Kau hadir di batas yang terjauh, ditebing harapan yang letih untuk kutempuh.

Hingga aku mencintaimu dalam diam. Seperti diam ketika dihadapkan pada kenyataan yang sangat rumit untuk diuraikan dipermukaan keinginan. Tetapi kadang cinta membuat kita untuk tetap siap berpikir. Dan aku telah menuliskan setiap cercah pikiran itu. Seperti ketika kita mencintai seseorang, dan ia yang kita cintai tak pernah sedikitpun mencintai kita. Maka kita hanyut dalam arus kegelisahan. Dalam itu, akupun berusaha melupakanmu dengan berbagai cara, tetapi selalu saja malam yang hening dan puisi yang sunyi berulangkali menegaskanmu. Tetapi aku percaya cinta menjadi agung jika kita mampu dan ikhlas mencintai seseorang yang ternyata tak mencintai kita.

Nurani adalah sabda paling lengkap dan ia kadang menunjukkan arah lain. Demikian penempuhan ini, sabda membangun titik dikeseluruhanmu. Aku berharap ada iman yang dahaga dan demikian tetap menyala, menerangi jalan menujumu. Aku pikir, setiap orang punya alasan yang kokoh kenapa ia mesti mempertahankan keyakinannya atas cinta, meski terjal.


(4)
Kakasih, aku menemukan seorang pemikir Islam dalam sebuah buku yang usang. Ia seakan keluar dari huruf-huruf dan membentuk diri yang rendah hati duduk disampingku. Ia lalu berkata: “…jika cinta adalah lampu senter yang menerangi jalan seseorang, ia akan menunjukkan apa arti keadilan, kemuliaan kata, kemurahan hati dan ketaatan. Akupun jadi ingat ketika Hamlet, dalam lakon Shakespeare, mengatakan sesuatu pada Ophelia tentang kebenaran cinta: “Ragukan bahwa bintang-bintang itu api. Ragukan bahwa matahari itu bergerak. Ragukanlah bahwa kebenaran itu dusta. Tapi jangan ragukan cinta.” Seolah-olah Rumi pun membisikkan sebuah kalimat cantik ditelingaku: “Apakah cinta? Dahaga yang sempurna. Maka, biarkan aku berbicara tentang air kehidupan.” Mereka semua berputar, bermuara di segenap diriku.

Bahwa demikian terasa indah dan sia-sia pencarian ini; tetapi berharga. Denganmu aku bermakna. Tertawa saja karenanya. Toh setiap hal mengira itu sebuah lelucon—kecuali hati yang mengerti.

Tapi, disana kerapkali kenyataan bicara lain bahwa setiap harapan ternyata begitu rumit dan remuk, dan kitapun gamang memilih: tetap “bekerja” membentuk harapan atau “bunuh diri” jika setiap penempuhan kadung dianggap tidak realistis, dan kita dipaksa mengamini ketidakmungkinan dan kekalahan diri? Apalagi jika orang-orang disekitar kita berprasangka buruk tentang cinta kita. Lantas, apa yang tersisa pada seseorang yang demikian mencintai segenap kenangan tentang cinta, mencintai sekujur penempuhan tentang cinta dan keseluruhan waktu yang berulangkali bermuara pada seseorang yang dicintainya? Bukankah kita dapat menghapus seseorang yang dicintai dalam kata, tetapi tidak dihati?

Mereka berkata: “kenapa harus cinta dipaksakan?” saya menunduk, diam. Tapi saya harus belajar bahagia dapat mencintai seseorang, sekalipun ia tak mencintaiku dan terasa jauh, menjauh menjelma bayangan…

Pada gilirannya, kelak perasaanku menjadi terdakwa. Aku terpenjara dilema. Aku memang pernah bimbang, cukup lama. Apalagi persoalan bersilang, menumpuk dan acak. Serba letih, aku letih menulis. Tapi, syukurlah, kemudian aku memang begitu lemah untuk sekedar membunuh apa yang telah aku anggap benar—termasuk ketika aku tak mampu berpaling dari setiap gagasan dan keindahan ingatan tentangmu. Jadi, seberapa pentingkah kejujuran? Hingga ketika mengucapkannya harus menerima resiko yang tak kecil: luka, keterasingan…Tetapi kadang aku tersenyum sinis pada kenyataan, mejadi batu-batu yang siap dilemparkan ke langit. Tetapi dalam kesempatan yang lain, aku demikian luruh dihadapanmu. Rikuh. Aku tak kunjung mengerti kenapa aku demikian gemetar dihadapanmu. Selalu, ada perasaan campur aduk menyadari hadirmu, dari mulai malu, kikuk, salah tingkah dan lain sebagainya. Benar, aku harus mulai belajar jadi lelaki konyol seperti itu. Bahkan aku heran, kenapa aku lebih mudah dan berani presentasi di depan kelas atau di forum debat berjam-jam lamanya daripada harus bicara padamu meski beberapa kata tentang rasa rindu, misalnya. Apakah setiap orang pernah mengalami hal serupa?

Aku ingat, disebuah malam yang tenang, seolah Syuhrawardi memberikan sebuah buku usang berjudul Hikayat-hikayat Mistik. Sebelum pergi ia berkata: “…segala sesuatu yang ada dimanapun akan mencari kesempurnaan. Kamu tidak akan pernah melihat seseorang yang tidak cenderung pada keindahan. Dengan demikian, setiap orang adalah pencari keindahan dan berusaha mendapatkannya.” Ucapnya dengan ramah.

Lantas ia melanjutkan kata-katanya: “Tetapi alangkah sulit mendapatkan keindahan, karena pertemuan dengannya harus melalui perantaraan cinta. Dan keindahan tidak tinggal disembarang tempat, dan tidak secara sembarangan menunjukkan wajahnya pada sembarang orang. Jika secara kebetulan menemukan seseorang yang pantas memperolehnya, keindahan mengirimkan kesedihan untuk membersihkan rumah orang itu. Kamu ingin cinta?” Syuhrawardi bertanya padaku. Aku mengangguk pasti lalu ia berkata: “Masukilah dulu kesedihan, jika ia telah membersihkan seluruh dirimu, keindahan akan serta merta memelukmu…” ucapnya. Ia lalu pergi dariku, meninggalkan sisa malam yang indah bersamaku, menulusup cuaca shubuh.

Setelah pertemuan dengan kata-kata agung itu, akupun lahir dalam puisi-puisi yang mengenangmu, meski—aku tahu—kau masih menjauh. Tapi aku masih bahagia. Bukankah keindahan hakikat tak pernah bisa disebut oleh sepasang mata kepala kita yang telanjang? Disini, aku mulai belajar mensyukuri apapun yang terjadi karenamu; menyimpan perlahan sekujur usia ketabahan disepanjang ladang hidup dan pencarian. Maka akupun tetap mencarimu, atau sekedar menunggu kau lewat dihadapanku. Menunggu. Sampai matahari pelan turun dan senja meninggalkan warna jingga di pelupuk mata yang berbinar.

Seperti hidup yang tak pernah mengajarkan aku untuk jenuh ketika duduk sendiri ditepi jalan, memikirkan apapun yang mungkin menyenangkan, meski gamang. Kulihat lalu lalang orang, suara-suara percakapan orang. Seperti begitu menyenangkan pula ketika melihatmu berjalan lewat dan duduk beberapa meter dariku. Aku diam-diam akan melihatmu, karena khawatir kau mengetahui aku mencuri pandang—sebab itu berarti setiap bersitatap selalu bicara tentang sesuatu yang cemas, letih, berjarak bahkan siap merasa kalah—semacam horor rasis, tak ada kecocokan, mitos perbedaan, pongah dan sebagainya serta cerita penyatuan hati yang dianggap mustahil, setidaknya mungkin itu dalih orang yang tak mau mencintai sesamanya (?).

Namun, ketika kamu beranjak dari tempat dudukmu dan berlalu dari sana, tak lama kemudian aku akan duduk ditempat yang sama ketika kamu duduk. Aku berharap duduk ditempat yang sama adalah sesuatu yang menyenangkan, meski kamu telah beranjak pergi, meski—aku tahu—aku demikian gamang dan gemetar membayangkanmu, atau sekedar menghampiri dan menyapamu.

Sepertimu, akupun beranjak pergi dari sana. Sebelum pergi aku sejenak menatap tempat dimana kau sempat duduk dan menyimpan selembar puisi diatasnya, berharap esok hari kau duduk kembali ditempat yang sama dan menemukan puisi itu lalu membacanya. Tetapi bukankah setiap harapan tak selamanya adalah sebuah bentuk keinginan yang utuh terjadi? Begitupun puisi yang sempat aku simpan ditempat yang biasa kau duduk sejenak dan pergi. Esok hari aku mendapati puisiku masih tersimpan disana, dengan huruf-huruf yang luntur karena embun pagi yang dingin dan mengkristal jatuh diatasnya. Huruf-hurufnya tak lagi terbaca. Dan kau tak sempat menemukan dan membacanya.

Namun, ketika kita jatuh cinta, dan kita akan terus menanyakan seseorang yang dicintai sepanjang jalan pada setiap orang. Kita bahkan mencarinya. Tetapi, ketika sudah bertemu dan bertatap muka, kita tak bicara apa-apa. Bisanya hanya diam tak menentu. Memang aneh.

Hal tersebut kerapkali menghkhawatirkanku. Ingin sekali aku lebih tegap bertemu dan bicara denganmu. Hingga aku seringkali belajar pada setiap percakapan tentang pengalaman cinta orang lain. Aku sering mendengarkan obrolan kawa-kawan yang panjang tentang seseorang yang mereka taksir. Atau perilaku mereka ketika jatuh cinta Mereka tak jarang memanggil seseorang dalam gumam sendirian dan senyum-senyum sendiri, bernyanyi sendiri, bahkan diantara kawanku ada yang mendzikirkan nama seseorang yang dicintainya seusai shalat. Konyol, memang.

Aku jadi ingat sebuah pepatah Arab, Man ahabba syai`an aktsara min dzikihii, barangsiapa mencintai sesuatu, tentu banyak menyebutkannya. Akupun seringkali keceplosan memanggil teman perempuanku dengan namamu. Sebuah kesimpulan populer pun dalam pergaulan remaja kadung muncul: mereka curiga aku menyukaimu. Dan saya yakin, mereka tidak berburuk sangka dan menyebar fitnah.

Seseorang telah berkata amat cantik padaku dengan pribahasa Arab, Man mahhadhaka mawaddatahuu faqad khawwalaka muhjatahuu, barangsiapa yang benar-benar ikhlas dalam mencintaimu, maka ia telah memberikan jiwanya padamu. Juga, ia pernah menulis untukku tentang semangat dan cinta: jika cintamu adalah rahim bagi karya-karyamu. Maka rayakanlah cinta itu…meski berliku disetiap jalannya; meski perih disetiap langkahnya…

Aku pikir, ia benar, bahkan aku merasakannya. Memang, setiap senyum dan sapaan dari seseorang yang dicintai ibarat vitamin. Ia dapat membuat gairah, semangat dan gembira. Sebaliknya, beberapa hari atau bahkan jam tak senyum dan menyapaku, aku merasa lemah. Memang hal itu terkesan berlebihan. Tetapi aku merasakannya, denganmu.

Maka, aku telah belajar banyak hal dari penempuhan ini. Cinta telah mengajarkan aku untuk ikhlas mendoakanmu. Cinta yang tidak membangkitkan adalah cinta yang mati. Bukankah manusia harus siap mencintai yang lainnya untuk sepenuhnya percaya bahwa disaat yang sama ia telah mencintai seganap hidup? Di sebuah malam, Rumi pernah membisikan sesuatu ditelingaku: “Hidup adalah sekolah cinta. Dan cinta adalah satu-satunya pelajaran yang harus dipelajari dalam hidup.” Hingga sering aku percaya, bahwa seseorang dapat menjadi baru karena cinta. Ia dapat berputar, menari menempuh batas arti pengetahuan dan pemahaman. Aku, entahlah, mendadak berangsur tenang. Aku ingin menjadi baru.

Saya bersyukur, tentang kekuatan cinta: merubah segalanya jadi hal yang terbaik; besarkan hati, beri kekuatan…

Hingga aku masih berdiri, disini, menatap batas langit—mungkin juga batasmu. Ketika berjalan sendiri, hidupku demikian cukup. Saya ingin percaya bahwa langit telah teduh dan bumi bukan lagi riuh. Aku sendiri ketika manusia terdengar seperti gelas pecah dan kunang-kunang yang saling menjauh keluar dari dadanya. Aku telah sendiri ketika manusia pecah dan menjauh, ketika yang satu tak lagi siap menghargai yang lainnya, ketika yang satu tak lagi siap mencintai yang lainnya. Aku berjalan sendiri dan perlahan menghimpun keheningan dan kenangan disudut kecil yang—aku yakin—kebanyakan orang tak suka melewatinya. Menyendiri.

(5)
Kekasih, kamu berhak sepenuhnya tak bicara sedikitpun untuk menjawab tentang ini. Sebab keseluruhan dirimu telah mengajarkan aku untuk percaya bahwa cinta bisa diajukan bukan sebagai suatu pertanyaan, tetapi sesuatu yang dapat menjadi pelajaran untuk menjadi seseorang yang terbaik bagi yang lainnya, mampu bersikap memberi tanpa menuntut untuk selalu ingin menerima.

Penempuhanku yang absurd menujumu adalah karya terbaikku.
Aku ingin menemukan setiap kerinduan untukmu
sebagai sebuah gagasan dan semangat.

Aku tahu, umur akan terus bertambah disepanjang perjalanan, dalam jeram-jeram harapan akan cinta. Disana, seseorang tak sekedar menikmati cinta, tetapi juga memikirkannya. Bukankah hati juga punya logikanya sendiri? Aku ingin terus mengukur dan mensyukuri umur dengan karya. Berharap—dalam keberanian berkarya—cinta dapat masuk kedalamnya, lewat batas-batas pengertian yang sederhana sekaligus agung. Hingga harapan kelak, karya dapat mendewasakan cinta dan seseorang demikian bahagia menemukan cinta yang mendewasakan sepanjang hidupnya.


Mungkin kelak aku harus belajar bicara langsung tentang sesuatu yang sebenarnya ingin aku sampaikan padamu. Mudah-mudahan aku tak menjadi horor, tak membuat kamu takut. Mungkin suatu saat tiba-tiba aku akan berjalan menikung dan meletih dalam hidup, maka aku dapat belajar banyak hal dari kenangan tentang arti melangkah. Belajar tentang arti kehilangan, kecemasan, keindahan, ketabahan, kerinduan dan arti cinta, doa, arti berharap…Hingga tiba sebuah hidup yang demikian sederhana ketika aku terluka karena kau luka. Aku bahagia karena kau bahagia…

Kekasih, jika malam menjelang, keluarlah dan lihat langit malam. Ada banyak bahasa yang akan berbicara padamu. Sungguh, kita tak sanggup menerka beberapa menit ke depan ataupun hari esok yang penuh rahasia. Tapi, malam ini, kulihat warna langit malam menyimpan apa yang tersisa dari apa yang tak sempat aku tulis dengan selesai tentang dirimu.

Sungguh, telah kuberikan segalanya yang bisa aku berikan.
Disini sudah habis sehabis-habisnya.
Lalu setiap kata melunta dalam peta sengketa.
Setiap cuaca tiba-tiba mulai samar terbaca…

Kekasih, tapi siapa dirimu? Kekasih, tapi dimana dirimu?









Baca selengkapnya...

Assalamualaikum Wr.Wb.




Puji sinareng sukur kasanggakeun ka Gusti Nu Maha Suci. Dina harepan urang sadaya dina kaayaan sehat wal’afiat.Amin.
Salajengna dina rangka persiapan Ujian Sakola Berstandar Nasional(UASBN)
siswa-siswi kelas VI SDN Sukamaju 2009/2010. Aya hal-hal anu penting, kukituna sim kuring salaku Komite Sakola, ngundang Bapa miwah Ibu supados sumping dina acara rapat nu bade dilaksanakeun:

Dinten/Kaping : 26 Oktober 2009
Tabuh : 09:00/10:30
Tempat : Aula SDN Sukamaju

Kumargi pentingna acara ieu, diharepkeun kahadirannana. Hatur nuhun kana perhatosannana.

Wassalamualaikum.Wr.Wb


Kapala sakola

Baca selengkapnya...

Juni 20, 2009

Misteri Piramida Mesir Terungkap !


By: Tugas TIK Siti Fatimah (X-7)

Piramida raksasa Mesir merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia saat ini, sejak dulu dipandang sebagai bangunan yang misterius dan megah oleh orang-orang.

Namun, meskipun telah berlalu berapa tahun lamanya, setelah sarjana dan ahli menggunakan sejumlah besar alat peneliti yang akurat dan canggih, masih belum diketahui, siapakah sebenarnya yang telah membuat bangunan raksasa yang tinggi dan megah itu?


Dan berasal dari kecerdasan manusia manakah prestasi yang tidak dapat dibayangkan di atas bangunan itu? Serta apa tujuannya membuat bangunan tersebut? Dan pada waktu itu ia memiliki kegunaan yang bagaimana atau apa artinya? Teka-teki yang terus berputar di dalam benak semua orang selama ribuan tahun, dari awal hingga akhir merupakan misteri yang tidak dapat dijelaskan. Meskipun sejarawan mengatakan ia didirikan pada tahun 2000 lebih SM, namun pendapat yang demikian malah tidak bisa menjelaskan kebimbangan yang diinisiasikan oleh sejumlah besar penemuan hasil penelitian.

Sejarah Mitos dan Temuan Arkeologi


Sejak abad ke-6 SM, Mesir merupakan tempat pelarian kerajaan Poshi, yang kehilangan kedudukannya setelah berdiri lebih dari 2.000 tahun, menerima kekuasaan yang berasal dari luar yaitu kerajaan Yunani, Roma, kerajaan Islam serta kekuasaan bangsa lain. Semasa itu sejumlah besar karya terkenal zaman Firaun dihancurkan, aksara dan kepercayaan agama bangsa Mesir sendiri secara berangsur-angsur digantikan oleh budaya lain, sehingga kebudayaan Mesir kuno menjadi surut dan hancur, generasi belakangan juga kehilangan sejumlah besar peninggalan yang dapat menguraikan petunjuk yang ditinggalkan oleh para pendahulu.

Tahun 450 SM, setelah seorang sejarawan Yunani berkeliling dan tiba di Mesir, membubuhkan tulisan: Cheops, (aksara Yunani Khufu), konon katanya, hancur setelah 50 tahun. Dalam batas tertentu sejarawan Yunani tersebut menggunakan kalimat "konon katanya", maksudnya bahwa kebenarannya perlu dibuktikan lagi. Namun, sejak itu pendapat sejarawan Yunani tersebut malah menjadi kutipan generasi belakangan sebagai bukti penting bahwa piramida didirikan pada dinasti kerajaan ke-4.

Selama ini, para sejarawan menganggap bahwa piramida adalah makam raja. Dengan demikian, begitu membicarakan piramida, yang terbayang dalam benak secara tanpa disadari adalah perhiasan dan barang-barang yang gemerlap. Dan, pada tahun 820 M, ketika gubernur jenderal Islam Kairo yaitu Khalifah Al-Ma'mun memimpin pasukan, pertama kali menggali jalan rahasia dan masuk ke piramida, dan ketika dengan tidak sabar masuk ke ruangan, pemandangan yang terlihat malah membuatnya sangat kecewa. Bukan saja tidak ada satu pun benda yang biasanya dikubur bersama mayat, seperti mutiara, maupun ukiran, bahkan sekeping serpihan pecah belah pun tidak ada, yang ada hanya sebuah peti batu kosong yang tidak ada penutupnya. Sedangkan tembok pun hanya bidang yang bersih kosong, juga tak ada sedikit pun ukiran tulisan.

Kesimpulan para sejarawan terhadap prestasi pertama kali memasuki piramida ini adalah "mengalami perampokan benda-benda dalam makam". Namun, hasil penyelidikan nyata menunjukkan, kemungkinan pencuri makam masuk ke piramida melalui jalan lainnya adalah sangat kecil sekali. Di bawah kondisi biasa, pencuri makam juga tidak mungkin dapat mencuri tanpa meninggalkan jejak sedikit pun, dan lebih tidak mungkin lagi menghapus seluruh prasasti Firaun yang dilukiskan di atas tembok. Dibanding dengan makam-makam lain yang umumnya dipenuhi perhiasan-perhiasan dan harta karun yang berlimpah ruah, piramida raksasa yang dibangun untuk memperingati keagungan raja Firaun menjadi sangat berbeda.
Selain itu, dalam catatan "Inventory Stela" yang disimpan di dalam museum Kairo, pernah disinggung bahwa piramida telah ada sejak awal sebelum Khufu meneruskan takhta kerajaan. Namun, oleh karena catatan pada batu prasasti tersebut secara keras menantang pandangan tradisional, terdapat masalah antara hasil penelitian para ahli dan cara penulisan pada buku, selanjutnya secara keras mengecam nilai penelitiannya. Sebenarnya dalam keterbatasan catatan sejarah yang bisa diperoleh, jika karena pandangan tertentu lalu mengesampingkan sebagian bukti sejarah, tanpa disadari telah menghambat kita secara obyektif dalam memandang kedudukan sejarah yang sebenarnya.

Teknik Bangunan yang Luar Biasa

Di Mesir, terdapat begitu banyak piramida berbagai macam ukuran, standarnya bukan saja jauh lebih kecil, strukturnya pun kasar. Di antaranya piramida yang didirikan pada masa kerajaan ke-5 dan 6, banyak yang sudah rusak dan hancur, menjadi timbunan puing, seperti misalnya piramida Raja Menkaure seperti pada gambar.

Kemudian, piramida besar yang dibangun pada masa yang lebih awal, dalam sebuah gempa bumi dahsyat pada abad ke-13, di mana sebagian batu ditembok sebelah luar telah hancur, namun karena bagian dalam ditunjang oleh tembok penyangga, sehingga seluruh strukturnya tetap sangat kuat. Karenanya, ketika membangun piramida raksasa, bukan hanya secara sederhana menyusun 3 juta batu menjadi bentuk kerucut, jika terdapat kekurangan pada rancangan konstruksi yang khusus ini, sebagian saja yang rusak, maka bisa mengakibatkan seluruhnya ambruk karena beratnya beban yang ditopang.

Lagi pula, bagaimanakah proyek bangunan piramida raksasa itu dikerjakan, tetap merupakan topik yang membuat pusing para sarjana. Selain mempertimbangkan sejumlah besar batu dan tenaga yang diperlukan, faktor terpenting adalah titik puncak piramida harus berada di bidang dasar tepat di titik tengah 4 sudut atas. Karena jika ke-4 sudutnya miring dan sedikit menyimpang, maka ketika menutup titik puncak tidak mungkin menyatu di satu titik, berarti proyek bangunan ini dinyatakan gagal.

Karenanya, merupakan suatu poin yang amat penting, bagaimanakah meletakkan sejumlah 2,3 juta -2,6 juta buah batu besar yang setiap batunya berbobot 2,5 ton dari permukaan tanah hingga setinggi lebih dari seratus meter di angkasa dan dipasang dari awal sampai akhir pada posisi yang tepat.

Seperti yang dikatakan oleh pengarang Graham Hancock dalam karangannya "Sidik Jari Tuhan": Di tempat yang terhuyung-huyung ini, di satu sisi harus menjaga keseimbangan tubuh, dan sisi lainnya harus memindahkan satu demi satu batu yang paling tidak beratnya 2 kali lipat mobil kecil ke atas, diangkut ke tempat yang tepat, dan mengarah tepat pada tempatnya, entah apa yang ada dalam pikiran pekerja-pekerja pengangkut batu tersebut.

Meskipun ilmu pengetahuan modern telah memperkirakan berbagai macam cara dan tenaga yang memungkinkan untuk membangun, namun jika dipertimbangkan lagi kondisi riilnya, akan kita temukan bahwa orang-orang tersebut tentunya memiliki kemampuan atau kekuatan fisik yang melebihi manusia biasa, baru bisa menyelesaikan proyek raksasa tersebut serta memastikan keakuratan maupun ketepatan presisinya.

Terhadap hal ini, Jean Francois Champollion yang mendapat sebutan sebagai "Bapak Pengetahuan Mesir Kuno Modern" memperkirakan bahwa orang yang mendirikan piramida berbeda dengan manusia sekarang, paling tidak dalam "pemikiran mereka mempunyai tinggi tubuh 100 kaki yang tingginya sama seperti manusia raksasa". Ia berpendapat, dilihat dari sisi pembuatan piramida, itu adalah hasil karya manusia raksasa.

Senada dengan itu, Master Li Hongzhi dalam ceramahnya pada keliling Amerika Utara tahun 2002 juga pernah menyinggung kemungkinan itu. "Manusia tidak dapat memahami bagaimana piramida dibuat. Batu yang begitu besar bagaimana manusia mengangkutnya? Beberapa orang manusia raksasa yang tingginya lima meter mengangkut sesuatu, itu dengan manusia sekarang memindahkan sebuah batu besar adalah sama. Untuk membangun piramida itu, manusia setinggi lima meter sama seperti kita sekarang membangun sebuah gedung besar."

Pemikiran demikian mau tidak mau membuat kita membayangkan, bahwa piramida raksasa dan sejumlah besar bangunan batu raksasa kuno yang ditemukan di berbagai penjuru dunia telah mendatangkan keraguan yang sama kepada semua orang: tinggi besar dan megah, terbentuk dengan menggunakan susunan batu yang sangat besar, bahkan penyusunannya sangat sempurna.

Seperti misalnya, di pinggiran kota utara Mexico ada Kastil Sacsahuaman yang disusun dengan batu raksasa yang beratnya melebihi 100 ton lebih, di antaranya ada sebuah batu raksasa yang tingginya mencapai 28 kaki, diperkirakan beratnya mencapai 360 ton (setara dengan 500 buah mobil keluarga). Dan di dataran barat daya Inggris terdapat formasi batu raksasa, dikelilingi puluhan batu raksasa dan membentuk sebuah bundaran besar, di antara beberapa batu tingginya mencapai 6 meter. Sebenarnya, sekelompok manusia yang bagaimanakah mereka itu? Mengapa selalu menggunakan batu raksasa, dan tidak menggunakan batu yang ukurannya dalam jangkauan kemampuan kita untuk membangun?

Sphinx, singa bermuka manusia yang juga merupakan obyek penting dalam penelitian ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang keseluruhan 73 meter, dianggap didirikan oleh kerjaan Firaun ke-4 yaitu Khafre. Namun, melalui bekas yang dimakan karat (erosi) pada permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa pembuatannya mungkin lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum Masehi.

Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yaitu Sphinx dengan bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya sama sekali berbeda, ia dibangun pada masa yang lebih purbakala dibanding masa kerajaan ke-4. Dalam bukunya "Ular Angkasa", John Washeth mengemukakan: perkembangan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah aliran sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal dan hebat yang lebih kuno ribuan tahun dibanding Mesir kuno, warisan budaya yang diwariskan yang tidak diketahui oleh kita. Ini, selain alasan secara teknologi bangunan yang diuraikan sebelumnya, dan yang ditemukan di atas yaitu patung Sphinx sangat parah dimakan karat juga telah membuktikan hal ini.

Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam "Ilmu Pengetahuan Kudus" menunjukkan: pada tahun 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah budaya yang hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, sebab bagian badan singa bermuka manusia itu, selain kepala, jelas sekali ada bekas erosi. Perkiraannya adalah pada sebuah banjir dahsyat tahun 11.000 SM dan hujan lebat yang silih berganti lalu mengakibatkan bekas erosi.

Perkiraan erosi lainnya pada Sphinx adalah air hujan dan angin. Washeth mengesampingkan dari kemungkinan air hujan, sebab selama 9.000 tahun di masa lalu dataran tinggi Jazirah, air hujan selalu tidak mencukupi, dan harus melacak kembali hingga tahun 10000 SM baru ada cuaca buruk yang demikian. Washeth juga mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh angin, karena bangunan batu kapur lainnya pada masa kerajaan ke-4 malah tidak mengalami erosi yang sama. Tulisan berbentuk gajah dan prasasti yang ditinggalkan masa kerajaan kuno tidak ada sepotong batu pun yang mengalami erosi yang parah seperti yang terjadi pada Sphinx.

Profesor Universitas Boston, dan ahli dari segi batuan erosi Robert S. juga setuju dengan pandangan Washeth sekaligus menujukkan: Bahwa erosi yang dialami Sphinx, ada beberapa bagian yang kedalamannya mencapai 2 meter lebih, sehingga berliku-liku jika dipandang dari sudut luar, bagaikan gelombang, jelas sekali merupakan bekas setelah mengalami tiupan dan terpaan angin yang hebat selama ribuan tahun.

Washeth dan Robert S. juga menunjukkan: Teknologi bangsa Mesir kuno tidak mungkin dapat mengukir skala yang sedemikian besar di atas sebuah batu raksasa, produk seni yang tekniknya rumit.

Jika diamati secara keseluruhan, kita bisa menyimpulkan secara logis, bahwa pada masa purbakala, di atas tanah Mesir, pernah ada sebuah budaya yang sangat maju, namun karena adanya pergeseran lempengan bumi, daratan batu tenggelam di lautan, dan budaya yang sangat purba pada waktu itu akhirnya disingkirkan, meninggalkan piramida dan Sphinx dengan menggunakan teknologi bangunan yang sempurna.

Dalam jangka waktu yang panjang di dasar lautan, piramida raksasa dan Sphinx mengalami rendaman air dan pengikisan dalam waktu yang panjang, adalah penyebab langsung yang mengakibatkan erosi yang parah terhadap Sphinx. Karena bahan bangunan piramida raksasa Jazirah adalah hasil teknologi manusia yang tidak diketahui orang sekarang, kemampuan erosi tahan airnya jauh melampaui batu alam, sedangkan Sphinx terukir dengan keseluruhan batu alam, mungkin ini penyebab yang nyata piramida raksasa dikikis oleh air laut yang tidak tampak dari permukaan.

Keterangan gambar: Sphinx yang bertetangga dekat dengan piramida raksasa kelihatannya sangat kuno. Para ilmuwan memastikan bahwa dari badannya, saluran dan irigasi yang seperti dikikis air, ia pernah mengalami sebagian cuaca yang lembab, karenanya memperkirakan bahwa ia sangat berkemungkinan telah ada sebelum 10 ribu tahun silam. (Lisensi gambar: Xu Xiaoqian)

Baca selengkapnya...

PENGUMUMAN UN MAN MODEL BANDA ACEH 2009



Hari ini Senin, 15 Juni 2009 adalah hari yang ditunggu-tunggu siswa kelas XII setelah mengikuti Ujian Nasional (UN), karena pada hari ini juga hasil UN akan diumumkan. Setelah menunggu dari pagi dengan perasaan cemas dan hati yang tak tenang, dan akhirnya pada pukul 14.00 WIB hasil UN pun diumumkan..
Hasilnya???

Alhamdulillah, semua siswa MAN Model Banda Aceh tidak ada yang kecewa maupun sedih, karena tahun ini MAN Model Lulus 100 %.
Suasana yang tadinya cemas dan penung ketegangan pun menjadi meriah dan mengharukan..
Tak jarang siswa yang tak tahan menahan air mata kebahagian dan haru setelah melihat pengumuman yang ditempel di sekolah..
Semua siswa pun menyempatkan diri untuk bersalam-salaman dengan para guru yang ada pada saat itu sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada para guru yang telah membimbingmereka selama ini..

Semoga lulusan MAN Model Banda Aceh khususnya pada tahun 2009 ini dapat berguna/bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Amiiin....

Baca selengkapnya...

Juni 19, 2009

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup?


By: Tugas TIK Intan Munawwarah (X-9)

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat/eramuslim)

Baca selengkapnya...

Juni 06, 2009

Teknologi Informasi dan Komunikasi



Frase "Teknologi Informasi" jika dilihat dari susuannya terdiri dari kata teknologi dan informasi. Oleh sebab itu teknologi informasi merupakan hasil rekayasa manusia terhadap terhadap penyampaian informasi dari bagian pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi tersebut akan:
* lebih cepat
* lebih luas sebarannya, dan
* lebih lama penyimpanannya.

Agar lebih mudah memahaminya mari kita lihat perkembangan di bidang teknologi informasi. Pada awal sejarah, manusia bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi. Bahasa memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar saja, yaitu hanya pada saat si pengirim menyampaikan informasi melalui ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka informasi yang berada di tangan si penerima itu akan dilupakan dan tidak bisa disimpan lama. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar, informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali.


Setelah itu teknologi penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan informasi bisa lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada orang lain. Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Beberapa gambar peninggalan jaman purba masih ada sampai sekarang sehingga manusia sekarang dapat (mencoba) memahami informasi yang ingin disampaikan pembuatnya.

Ditemukannya alfabet dan angka arabik memudahkan cara penyampaian informasi yang lebih efisien dari cara yang sebelumnya. Suatu gambar yang mewakili suatu peristiwa dibuat dengan kombinasi alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti dengan 1943. Teknologi dengan alfabet ini memudahkan dalam penulisan informasi itu.

Kemudian, teknologi percetakan memungkinkan pengiriman informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik seperti radio, tv, komputer mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan.

Oleh : Eddy Harianto

Baca selengkapnya...